Tiga Serangkai - Trisula Kebanggaan Milik Indische Partij
Ilustrasi tiga serangkai
Hidup di zaman sekarang, nama Tiga Serangkai diabadikan sebagai sebuah nama penerbit yang melebarkan bisnisnya hingga ke toko buku. Namun, dahulu, nama Tiga Serangkai berkaitan dengan tiga tokoh penting Indonesia. Adalah Ki Hajar Dewantara, Ernest Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Beliau-beliau ini adalah tiga tokoh pendiri Indische Partij. Sebuah partai ternama di zaman pemerintahan Hindia-Belanda.
Terbentuknya Indische Partij
Pelajaran sejarah di tingkat sekolah dasar, menengah pertama dan menengah atas, nama Indische Partij kerap didengungkan oleh guru. Alasannya adalah karena organisasi ini memang bersejarah. Nama ini memiliki kandungan sejarah Indonesia yang cukup kental. Karena organisasi ini merupakan parta politik pertama di nusantara atau pada saat itu bernama Hindia-Belanda.
Organisasi politik yang didirikan oleh Tiga Serangkai ini diresmikan pada 25 Desember 1912. Puluhan tahun sebelum Indonesia mendapatkan kemerdekaannya. Tujuan utama pembentukkan organisasi politik ini adalah untuk menghapuskan deskriminasi antara orang asli Belanda dengan pribumi atau campuran pada kedudukannya di dalam sebuah organisasi.
Indische Partij didirikan untuk menggantikan Indische Bond yang “dihuni” oleh masyarakat Eropa dan Indonesia. Indische Partij sendiri merupakan organisasi campuran yang tidak membeda-bedakan seseorang berdasarkan garis keturuan. Apakah ia keturunan asli Eropa atau campuran, atau bahkan pribumi sama sekali.
Organisasi ini ingin pihak bumi putera bekerjasama dengan masyarakat Indo.
Indische Partij sendiri berisi orang-orang Indo yang secara ekonomi tergolong sejahtera.
Partai ini juga lah yang menggagas atau menginginkan Indonesia merdeka untuk yang pertama kalinya. Ketika ingin mendapatkan pengakuan secara hukum pada 11 Maret 1913, partai ini ditolak oleh Idenburg selaku Gubernur Jendral Belanda untuk daerah jajahan. Alasannya karena tentu saja pihak Belanda merasa takut jika organisasi ini bisa membangkitkan nasionalisme masyarakat.
Keberanian adalah modal yang dimiliki oleh para tokoh organisasi ini. Bahwa menggunakan media untuk menyerang pemerintah adalah salah satunya. Melalui majalah dan surat kabar Het Tijdschrifc dan De Expres yang dipimpin oleh Douwes Dekker, organisasi ini menyampaikan keberaniannya dalam bentuk tulisan.
Puncaknya adalah ketika Belanda memperingati 100 tahun lepas dari pengaruh Napoleon Bonaparte atau Perancis. Ketika itu, muncul tulisan-tulisan bernada menyindir dari para tokoh ini. Dimulai dengan artikel yang ditulis oleh R.M Suwardi Suryaningrat berjudul Als Ik Een Netherlander was atau dalam bahasa Indonesia artinya, “Andaikan aku seorang Belanda.” Akibat dari tulisannya ini, Suwardi ditangkap.
Apa yang terjadi pada Suwardi tidak membuat gentar para tokoh lainnya untuk membuat tulisan senada. Kali ini datang dari Dr. Cipto Mangunkusumo, berjudul Kracht of Vrees? Artikel bernada sarkasme ini dimuat dalam surat kabar De Expres yang terbit pada 26 Juli 1913. Artikel ini kurang lebih berisi tentang kekuatan, ketakutan dan kekhawatiran. Seperti Suwardi, Dr. Cipto Mangunkusumo pun ditangkap.
Sebagai bentuk sindiran terhadap pihak Belanda, giliran Douwes Dekker yang bersuara lewat tulisan. Beliau membuat sebuah artikel dengan judul, Onze Helden: Tjipto Mangoenkoesoemo en Soewardi Soeryaningrat atau dalam bahasa Indonesia artinya, Pahlawan Kita: Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soeryaningrat. Tulisan itu diterbitkan pada 5 Agustus di tahun yang sama, 1913.
Merasakan ancaman yang luar biasa dari ketiga tokoh ini, pihak Belanda kemudian mengasingkan ketiganya. Kupang dan Pulau Banda adalah tempat pengasingan bagi Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Satu tahun kemudian, 1914, Tjipto Mangoenkoesoemo dipulangkan karena sakit, sementara dua tokoh lagi baru dipulangkap pada 1919.
Masing-masing dari tokoh tersebut kemudian mengabdikan diri untuk bidang pendidikan Indonesia. Soewardi Soeryaningrat yang kemudian dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara mendirikan lembaga pendidikan yang terkenal hingga kini, Taman Siswa. Sementara Douwes Dekker mendirikan sebuah lembaga bernam Ksatrian Institute di Sukabumi. Sayang, pada 1949, Douwes Dekker kembali diasingkan, kali ini ke Suriname.
Tiga Serangkai
Gambaran tentang keberanian yang dimiliki oleh Tiga Serangkai tersebut membuat siapa pun merasa tertarik untuk mengetahui latar belakang ketiga tokoh tersebut. Dalam buku sejarah, cerita tentang beliau-beliau yang hebat ini sudah dikupas tuntas, namun, tidak ada salahnya bukan jika cerita tentang ketiga tokoh tersebut kembali diulas dalam artikel ini?
1. Ernest Douwes Dekker
Tokoh pemberani ini lahir dari seorang pria asli Belanda bernama Auguste Henri Eduard Douwes Dekker dan wanita Indo Jerman-Jawa bernama Louisa Margaretha Neumann. Beliau lahir di Pasuruan 8 Oktober 1879. Dilihat secara ekonomi, kehidupan keluarganya sangat berkecukupan. Ayahnya adalah seorang agen bank dan pialang saham. Meski pun demikian, majalan dan surat kabar yang dimilikinya bukan hasil hibahan dari orangtua, beliau memulai semua dari bawah, sebagai jurnalis.
Douwes Dekker mengingatkan kita semua pada Eduard Douwes Dekker atau dikenal dengan nama Multatuli. Apakah ada hubungan antara keduanya? Ya. Multatuli adalah adik dari kakek Danudirdja yang bernama Olaf Douwess Dekker.
Kepekaannya terhadap penjajahan dan deskriminasi sepertinya memang menjadi jatidirinya. Berulangkali ia tidak sependapat dengan rekan kerjanya karena lebih memihak kepada para pekerja. Berulangkali pula ia dipecat. Hal ini semakin mengakar dalam benaknya ketika pada 1899, beliau memutuskan untuk mengikuti Perang Boer yang terjadi di Afrika Selatan. Ini dilakukannya setelah ia tidak memiliki pekerjaan, dan sang bunda meninggal dunia.
Bersama kedua kakaknya, Julius dan Guido, beliau menjadi warga negara Republik Transvaal. Sebagai relawan perang, risiko untuk ditangkap pihak musuh sangat besar. Dan benar, ia pun ditangkap lalu dipenjara di camp Ceylon. Dari penjara itu lah ia kemudian belajar banyak dari sastra India. Mulai dari situ, pemikirannya mengenai tindakan tidak adil yang terjadi di Hindia Belanda seperti semakin berkecamuk.
Selain itu, tindakan diskriminasi yang diterimanya sebagai seorang indo juga menjadi salah satu latar belakang Douwes Dekker untuk mendirikan IP. Pada akhirnya, tujuannya hanya satu, agar anak-anaknya dapat hidup tenang tanpa diskriminasi setelah Indonesia merdeka nanti, sayang, semua anak-anaknya justru meninggalkan Indonesia saat Jepang datang. Keturunan sang pejuang ini tidak memilih Indonesia sebagai negara yang harus dibelanya.
Pengasingan demi pengasingan dijalani oleh Douwes Dekker hingga pada 28 Agustus 1950, Douwes Dekker meninggal dunia di Bandung. Dan dimakamkan di Taman Pemakaman Pahlawan Cikutra. Sepanjang hidupnya, beliau menikah dengan tiga orang wanita. Masing-masing adalah wanita indo. Dari pernikahannya, beliau dikarunia 5 orang putra dan putri, sayang, kedua putranya meninggal dunia.
2. Soewardi Soeryaningrat (Ki Hadjar Dewantara)
Ya. Beliau adalah Ki Hadjar Dewantara. Tokoh yang selama ini dikenal sebagai tokoh pendidikan Indonesia. Bahkan tanggal lahirnya diperingati sebagai hari penddikan Indonesia. Kontribusi pahlawan pergerakan kelahiran Yogyakarta 2 Mei 1889 ini tidak perlu diragukan. Beliau, bersama Douwes Dekker menjadi pendiri organisasi IP.
Beliau berasal dari lingkungan Keraton Yogyakarta. Tidak heran jika akses pendidikan bisa didapatkan dengan mudah. Beliau sempat bersekolah di STOVIA, namun tidak sampai tamat. Akhirnya, beliau dikenal sebagai penulis yang andal. Tulisannya banyak dimuat di media. Salah satunya yang paling terkenal adalah tulisan berisi kritikan terhadap Belanda berjudul Als ik een Netherlander. Beliau pun diasingkan, beserta dua temannya.
Ia pun memutuskan untuk bergerak di bidang pendidikan. Kemudian berdiri lah lembaga pendidikan bernama Taman Siswa. Motto yang terkenal adalah “Ing ngarso sing tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” artinya “di depan menjad contoh, di tengah menyemangati, dan di belakang memberi dorongan.
Beliau meninggal dunia setelah melewati masa-masa pengasingan dsb. Beliau meninggal di kota kelahirannya, Yogyakarta, pada 26 April 1959.
3. Tjipto Mangoenkoesoemo
Tokoh Tiga Serangkai yang terakir adalah Tjipto Mangoeunkoesoemo. Beliau lahir di Semarang pada 4 Maret 1886. Jika Douwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara beralih ke dunia pendidikan, tidak dengan Mangoenkoesoemo. Beliau memilih jalur politik.
Pengalamannya tentang tindak diskriminasi dirasakan ketika bersekolah di STOVIA.
Beliau yang memang bukan keturunan priyayi melihat adanya perlakuan yang berbeda. Bahkan dari segi seragam atau pakaian yang digunakan. Beliau menolak segala bentuk kefeodalismean.
Beliau sempat bergabung bersama Budi Utomo, tapi kemudian memutuskan untuk keluar. Karena beliau tidak merasa sejalan dengan prinsip organisasi pendidikan ini. Pertemuannya dengan DD membuat semangat melawan diskriminasi semakin kuat. Hingga beliau menjadi salah satu di antara tiga tokoh pendiri Indische Partij.
Selepas dari IP, organisasi politik yang beliau ikuti adalah Volksraad. Sepak terjangnya di dunia politik dianggap membahaykan. Berulangkali beliau diasingkan, hingga akhirnya singgah di Bandung. Perjuangannya tidak berhenti karena diasingkan. Di Bandung beliau bertemu dengan Sukarno dan membentuk Algemeene Studie Club yang kemudan berubah menjadi Partai Nasional Indonesia.
Beliau benar-benar tokoh yang kuat terhadap prinsipnya. Beliau memilih mati daripada melepaskan hak berpolitiknya. Hingga akhirnya pada 8 Maret 1943 beliau meninggal dunia di Jakarta.
Apa pun yang dilakukan oleh Tiga Serangkai di atas, adalah gambaran kekuatan yang dimiliki oleh seorang manusia terjajah. Bahwa kekuatan dan keberanian bukan lagi sebuah hal yang aneh dimiliki oleh orang per orang. Bahwa rela mati demi menghilangkan diskriminasi adalah landasan kuat lahirnya organisasi-organisasi semacam IP ini.